Lembur mungkin sudah menjadi budaya di kalangan pekerja kota besar. Tapi, berhati-hatilah. Pasalnya kebiasaan bekerja lembur bisa meningkatkan risiko penyakit jantung.
Sebuah studi dari European Heart Journal mengklaim bahwa orang-orang yang bekerja setidaknya tiga jam lebih lama setiap harinya memiliki risiko penyakit jantung 60 persen lebih tinggi ketimbang mereka yang bekerja dalam waktu normal.
Temuan ini didapat melalui riset panjang terhadap 6.014 pegawai negeri Inggris, usia 39-61, dimana dua pertiganya adalah pria, yang memiliki kondisi jantung sehat di awal 1990-an.
Memasuki tahun ke-11 penelitian, 369 subjek diketahui meninggal akibat gagal jantung atau pernah mengalami serangan jantung yang tidak fatal, demikian dilansir Straits Times, Kamis (6/1/2011).
Setelah menghitung beberapa faktor seperti kebiasaan merokok, kelebihan berat badan serta tingkat kolesterol tinggi, dokter menemukan bahwa bekerja tiga dan empat jam lebih lama memiliki risiko 60 persen lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak bekerja lembur.
Mereka yang bekerja lembur biasanya sedikit lebih muda ketimbang kelompok yang tidak bekerja lembur. Kelompok pekerja lembur juga didominasi pria dan memiliki jabatan lebih tinggi.
Menurut para peneliti, hubungan antara penyakit jantung dan bekerja lembur sepertinya cukup jelas. Namun, tidak demikian dengan penyebabnya, mempertimbangkan kompleksitas penyakit jantung serta relasi di tempat kerja.
Contohnya, bekerja lembur bisa mempengaruhi metabolisme atau menutupi kondisi depresi, kegelisahan, serta kurang tidur. Ada juga fenomena dimana karyawan yang lembur mungkin akan mengabaikan gejala penyakit dan meneruskan bekerja.
Meski demikian, patut dicatat, karyawan yang menyukai pekerjaan mereka dan memiliki kebebasan lebih dalam mengambil keputusan di lingkungan kerja, biasanya bekerja lebih lama dikarenakan kesenangan pribadi. Untuk kelompok ini, risiko gagal jantung ternyata lebih rendah.
"Dibutuhkan lebih banyak penelitian sebelum kami bisa menyatakan dengan pasti bahwa lembur bisa menyebabkan penyakit jantung," ujar Marianna Virtanen, seorang epidemiologis di Universitas Finlandia dan Universitas Kolese London.
0 komentar:
Post a Comment