TIMOR sudah lelah. Daerah nun di ujung Nusa Tenggara Timur itu sudah letih dengan perang dan kehidupan serba kekurangan. Ketika warga Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia menjadi merdeka pada 1999, yang terjadi bukan hanya perpisahan dua belah kawasan, melainkan terbelahnya berbagai keluarga.
Film ini dimulai dengan rombongan orang Timor yang dievakuasi dan pindah ke perbatasan Motain. Inilah daerah yang membelah Timor Barat dan Timor Leste yang dipagari kawat berduri dan tentara yang berjaga dengan sigap. Ibu, Tatiana (Alexandra Gottardo), datang kepada sang relawan. "Saya ingin tahu kabar sa pung anak Mauro." (Saya ingin tahu kabar anak saya Mauro-Red.)
Suara sang ibu bergetar. Sorot mata yang pecah oleh kepedihan karena anak sulungnya, Mauro (Marcel Raymond), masih berada di Timor Leste bersama sang paman, dan dia bersama putri bungsunya, Merry, menyeberang ke kamp pengungsi. Di sana, bersama Abu Bakar (Asrul Dahlan), Mama Tatiana yang cantik dan sabar mengajar anak-anak membaca dan tetap menggenggam cita-cita.
Dan karena mereka semua masih anak-anak, di tengah penderitaan makanan yang dijatah, kehidupan yang gerah, dan tak menentunya situasi, toh mereka masih bergembira mandi di sungai dan bergurau di antara sesama anak-anak.
Di antara gerombolan anak-anak itu, ada anak lelaki yang paling badung bernama Carlo (Yehuda Rumbindi), yang paling gemar menyelinapkan binatang apa saja ke kantong teman-teman sekelasnya. Merry, putri Tatiana, sering menjadi sasaran. Sudah diduga keduanya jadi sering bertengkar, terutama karena mereka berbeda temperamen.
Merry seorang gadis kecil peka yang dilanda kerinduan terhadap abangnya nun di Timor Leste itu. Dia mengisi rasa kangen dengan berpura-pura berbincang dengan guling yang mengenakan kaus T-shirt, seolah itu abangnya. Di malam lain, Merry meniup harmonika pemberian abangnya. Sementara itu, si bandel Carlo, yang kerjanya hanya menggoda, tak sengaja merusak harmonika tersebut. Permusuhan memuncak.
Film ini sebetulnya adalah sebuah film drama keluarga yang belakangan menjelma menjadi kisah semiroad-movie. Merry memutuskan berjalan menuju perbatasan-sesekali nebeng truk-mencari sang abang. Carlo menyusulnya. Perjalanan mereka berdua tentu saja diwarnai berbagai rintangan dan pengalaman yang perlahan membuat permusuhan menjadi sebuah persahabatan yang tulus. Sosok Carlo yang terpontang-panting mencari makan-dengan mendapat upah cuci piring, atau bahkan mencuri ayam yang digunakan untuk adu ayam jago-melahirkan suasana humor sekaligus kasih sayang. Yehuda Rumbindi, pemeran Carlo, adalah oksigen yang meniupkan kehidupan pada layar. Begitu Yehuda muncul, layar perak itu semarak. Sejak awal adegan kepedihan saat berita kematian ibu Carlo hingga adegan-adegan "perang kecil" antara Merry dan Carlo adalah nyata Yehuda adalah sang bintang.
Bintang kedua dari film ini adalah gambar-gambar yang mencengangkan. Kamera Ical Tanjung dan rangkaian tata artistik arahan Moty D. Setyanto berhasil memberikan gambaran kawasan kamp pengungsi yang bermatahari garang, gerah, penuh debu, rumah berlantai tanah, dan kulit para tokoh yang hangus dibakar kepedihan. Tanpa dialog pun, kita ikut terseret oleh udara dan luka yang terkirim oleh gambar. Bravo Ari Sihasale untuk rangkaian gambar ini.
Ari Sihasale sengaja tidak memasukkan unsur politik yang kental dan mendorongnya jauh sebagai latar belakang. Mungkin kita berharap akan ada sebuah pertentangan politik di dalam keluarga (misalnya: sang ibu ke wilayah Indonesia, anak yang sudah dewasa memilih Timor Leste; itu akan menjadi kisah yang seru dan unik). Tapi Ari Sihasale mengaku film ini memang se-ngaja dibuat "dari sudut pandang anak-anak". Menurut Ari, "Ini sebuah film keluarga yang menampilkan politik sebagai latar belakang saja."
Separuh film ini sesungguhnya lebih menceritakan film perjalanan Merry dan Carlo mencari Abang Mauro. Segar dan menyentuh.
Film Tanah Air Beta meneruskan sebuah semangat menggambarkan kisah anak-anak Indonesia yang tak hanya terletak di kawasan modern urban, tapi yang terbentang dari ujung barat ke timur Indonesia. Ada yang sulit sekolah seperti yang ditampilkan Laskar Pelangi, ada pula yang tercerai-berai. Setelah menyaksikan film ini, kita kemudian lega dan bahagia: masih ada film Indonesia yang dibuat dengan serius dan membanggakan.
Sumber : Majalah Tempo
0 komentar:
Post a Comment